Jumat, 28 November 2008

Najmah

Berawal dari sebuah gugatan. Pengurus Iluni dinilai terlalu asyik mengurus hura-hura. Larut dalam polemik dokumentasi reuni hingga abai missi sosial Iluni. Gugatan itu mendorong saya mewakili ILUNI 37-91 dan dua teman bertandang ke ruang Perinatologi RSCM.

Lorong seantero RSCM tak pernah berubah. Nuansa muram masih setia menggayut di rumah sakit peninggalan kolonial itu. Begitu pun selasar sebelah kanan Gedung Central Medical Unit (CMU) RSCM, Jakarta. Siraman cahaya empat set neon tak dapat menghalau temaram Sabtu (15/11) malam itu. Beberapa keluarga pasien melepas penat di sana.Tampak pula seorang bocah delapan tahun bersimpuh sendirian di tikar merah.

“Nauval, tunggu di situ sebentar. Ayah ke atas dulu,” kata ayahnya setengah berteriak dari depan gerbang CMU.

Anak kecil itu mengangkat kepalanya seraya mengangguk dan tersenyum. Lantas kembali tenggelam dalam keasyikannya. Usai mendapuk saya menemani bocah itu, kedua teman saya segera ke lantai 3 Gedung CMU diantar ayah Nauval.

“Hai, saya Gamal. Kawan ayahmu waktu SMA. Nama kamu siapa?” kata saya sembari menjabat tangannya. “Nauval,” katanya diimbuhi senyum.

Saya mengusik kesibukannya. Nauval menunjukkan jeep 4x4 sekepalannya. Dia memodifikasi mainan itu dengan menjepitkan sebuah senter led sebesar kelingking di rangka terpal jeep. Minatur mobil off road itu layaknya memanggul meriam besar.

Beberapa keluarga pasien lain yang baru datang ke selasar itu menyapa Nauval dengan hangat. Dia membalasnya dengan senyum. Nauval murid kelas 2 di sebuah SD Negeri di Kebon Baru. Dari caranya menghadapi orang lain, saya menilai dia bocah beremosi cerdas. Perkiraan saya tak meleset. Prestasi akademisnya pun lumayan.

“Rangking ya, di kelas?” “Waktu kelas 1 rangking 6 dan 7. Bagi rapot kemarin, rangking 6,” ungkapnya.. Kami pun ngobrol ngalor-ngidul. Lima belas menit berlalu, Ayah Nauval tak kunjung kembali. “Biasa nih kalo ibu-ibu yang besuk, jadi kelamaan ngobrol,” pikir saya.

Limpasan hujan dari cucuran mulai membasahi lantai, membuat kami tak nyaman bercengkrama di selasar itu. Nauval membenamkan tubuhnya dalam jaket karet sintetis hitamnya. Dia bilang sejak pukul 1 siang sudah tiba di RSCM.

“Kamu lapar, nggak? Saya lapar, nih. Kita makan yuk,” ajak saya. Bocah itu menggangguk antusias. “Tapi saya nggak tau tempatnya. Terserah Nauval aja deh.”

Dia bergegas ke arah jembatan kayu yang membelah jalan Inspeksi dan Sungai Ciliwung. Sejenak saya ragu.. Lorong itu minim penerangan. Tapi karena buta tempat itu, saya mengikutinya. Kelihatanya Nauval akrab dengan daerah itu. Kami melintasi jembatan tersebut, menyongsong rinai gerimis menuju sebuah warung nasi sederhana di jalan Kimia.

Sang empunya warung menyambut Nauval dengan hangat layaknya bertemu kawan lama. Saya memersilahkan Nauval memilih sendiri menu favoritnya. Belum sempat nasi disantap, segenap warung di sana mati listrik. Saya bersungut-sungut minta lilin. Tapi Nauval tenang saja. Dia merogoh saku jaketnya. Jeep bersenter led pun menerangi piringnya.

“Cerdas nih anak,” saya kembali kagum padanya. “Kami memang biasa makan di situ. Malah Nauval suka numpang bikin PR di situ,” kata ayah Nauval, setibanya saya dan bocah itu kembali ke selasar Gedung CMU.

Nauval Aryando adalah putra sulung pasangan Sudarlindo Warman Esa dan Aryanti. Seperti juga kedua orang tuanya, setiap hari Nauval harus berlelah-lelah pergi pulang dari RSCM ke rumah mereka di kawasan Kebon Baru, Jakarta. Sepulang sekolah, Nauval kerap menemani ibunya ke rumah sakit itu. Mereka kembali ke rumah malam hari dijemput ayahnya seusai bubaran kantor.

“Capek nggak ke sini terus?” tanya saya kepada Nauval di awal pertemuan kami.

“Nggak. Aku kan nunggu adikku,” jawab Nauval.

“Kamu senang punya adik?” Dia mengiyakan dengan senyumnya.

“Pernah lihat adikmu?”

Dengan senyum lagi dia menggeleng. “Tapi aku pernah lihat fotonya.”

“Siapa namanya?”

“Najmah,” katanya singkat.

Adik perempuannya, Najmah masih dalam pengampuan rumah sakit itu. Najmah Haaniyah Arlin, begitu Sudarlindo menamakan putri bungsu mereka. Najmah adalah kata dalam bahasa Arab yang artinya bintang. Haaniyah berarti kesayangan.

“Arlin singkatan dari nama kita berdua. Jadi artinya, bintang kesayangan Aryanti dan Sudarlindo,” jelas Sudar panggilan karib Sudarlindo.

Najmah lahir 9 September 2008 di RSCM Jakarta. Tuhan berkehendak bayi perempuan itu lahir lewat operasi Caesar di usia kandungan 6 bulan 1 minggu. Penyebabnya, tekanan darah Aryanti, Ibu Najmah, melonjak. Berat Najmah waktu itu hanya 800 gram.

Sudar masih ingat kata-kata dokter yang menolong kelahiran putrinya itu. “Ibu jangan berharap banyak bayi Ibu hidup.”

Tapi Sudar tak peduli pesimisme sang dokter. “Gue pasrah aja, yang penting gue berjuang dulu,” katanya.

Seminggu setelah kelahiran, buah hati mereka baru dapat dijenguk di Neonatal Intensive Care Unit (NICU). Bayi perempuan ini terbaring lemah di inkubator dengan bantuan beberapa peralatan medis. Jarum infus menancap di sekujur tubuh Najmah. Selang-selangnya menjuntai mengasup cairan menuju tangan kanan dan kiri, kaki kanan dan kiri dan kepala si mungil. Electrocardiogram (ECG) terus melaporkan detak jantungnya. Ventilator (alat bantu pernapasan) dipasang di hidungnya.

Di tengah jalan, dokter menyarankan ventilator diganti dengan oksigen bertekanan tinggi. Padahal untuk mendapatkan ventilator, Sudar sempat dipingpong pihak rumah sakit. Alasan mereka, semua ventilator masih dipakai pasien lain. Dia diminta RSCM agar menyewa dari rumah sakit lain. Dalam kegalauannya, akhirnya RSCM memenuhi kebutuhan ventilator untuk buah hatinya.

Meski Najmah masih di rumah sakit, Sudar tetap menggelar aqiqah buat putrinya di pertengahan Oktober 2008. “Gue harus berusaha sekuat tenaga buat dia. Keputusannya di tangan Tuhan,” kata Sudar. Belum tuntas hajatan berlangsung, rumah sakit menelepon. Najmah beberapa hari tak buang air besar. Pasangan itu diminta menyediakan alat bantu. Bersama salah satu karibnya di SMA, Yossi Dwi Hartono, Sudar menelusuri apotek-apotek di Ibukota. Hasilnya nihil.

Dokter menawarkan pilihan terburuk, membuat anus buatan. Tapi seorang dokter yang iba kepadanya memberi alternatif. Alat bantu tersedia, tapi bekas dan harus disterilisasi. Setelah berkonsultasi dengan dokter bedah, Sudar pun menyetujui. Najmah kembali dilimpahi kemurahan Tuhan. Salah satu masalah teratasi.

“Musti bersyukurlah, anak gue cuma prematur. Gak ada penyakit-penyakit lain. Masih banyak yang lebih susah,” kata Sudar.

Hingga Sabtu lalu, Sudar dan keluarganya masih harus bertandang ke rumah sakit dua kali sehari. Pagi hari mengantar perahan ASI istrinya untuk Najmah, sekalian mengambil resep obat. Malam sepulang kantor, dia mengantar obat yang telah ditebus. Sekaligus menjemput istrinya dan Nauval.

Kondisi Najmah berangsur membaik. Dua minggu terakhir semua alat bantu yang menempel di tubuh mungilnya sudah dicabut. Kini beratnya 1.700 gram.

“Dokter bilang, kalau 1.800 gram boleh pulang. Jadi kita musti hati-hati menjaganya,” kata Ariyanti berharap.

Perhatian utama lainnya adalah menjaga kadar hemoglobin. Akibat kadarnya rendah, selama perawatan Najmah sudah ditransfusi 15 kantong darah. Saya menawarkan diri mendonorkan darah seandainya Najmah membutuhkan.

“Kebetulan darah gue O. Kontak gue segera kalo butuh.”

“Mudah-mudahan sih nggak butuh,” Sudar menimpali.

Ada kekhawatiran lain menghantui keluarga ini. Penggunaan oksigen tekanan tinggi dapat berdampak pada pengelihatan Najmah. Dokter menyarankan terapi laser sebagai solusi. Tak cuma itu, kalium posphat, obat untuk membantu pertumbuhan tulang, belum didapat hingga kini. “Udah kelilingan belum nemu juga,” jelas Sudar.

Melihat begitu banyaknya tindakan medis, dengan rikuh saya menanyakan biaya pemulihan Najmah. Puluhan juta sudah keluar dari saku keluarga tersebut. Itu pun sudah ditopang Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) yang hanya mengcover 50 persen dari keseluruhan biaya. Hutang sekitar dua puluh juta sudah menanti.

“Sampai semua harta gue habis gue ikhlas demi anak,” tegas Sudar.

“Kalau sampai habis juga gak bisa keluar bagaimana?” tanya saya usil.

“Gue pasang badan, Mal!” Saya terkesiap dan meminta maaf. Pertanyaan saya itu, seolah niatan meninggalkannya sendirian melawan masalah.

Saya membesarkan hatinya, “yang bakal bantuin lo bukan anak Bio aje, Dar. Alumni 37 semua, temen lo.”

Sumbangan dalam bentuk apapun memang sangat dibutuhkan Keluarga Sudar. Agar Najmah cepat pulih dan segera berkumpul bersama keluarganya. Apalagi Nauval, kakak Najmah. Laki-laki kecil ini begitu merindukan adiknya.

“Kata ayah, gak boleh naik sama Pak Satpam. Tapi nanti kalau Pak Satpam di atas nggak ada, aku bakal naik sendiri ketemu adikku,” Nauval bertekad.

Mendengar itu tenggorokan saya serasa menelan kerikil.

Written by Gamal Ferdhi.