Senin, 02 Agustus 2010

Merangkai Nasib Aktuil dari Konser Deep Purple


Oleh Gamal Ferdhi*
“Selamat malam?” pekik David Coverdale dalam logat Indonesia patah-patah. Salamnya disambut gemuruh puluhan ribu penonton. Coverdale langsung menimpali, “apakabar?” Penonton kembali menyambut antusias.

Diawali gebukan cymbal Ian Paice, disusul raungan melody Tommy Bolin, cabikan bass Glen Hughes dan erangan keyboard John Lord, serta lengkingan vocal Coverdale, Deep Purple mulai membakar publik Jakarta dengan "Burn".

Penonton semakin menggila. Kepolisian terus waspada di sekeliling pangung. Herder dan Doberman para hamba wet itu dikerahkan. Mereka mengantisipasi ekstase penonton yang sebagian besar berambut gondrong bercelana cutbray.

Demikian suasana Konser Deep Purple di Stadion Utama Senayan Jakarta pada 4 dan 5 Desember 1975. Sekitar 150 ribu penonton memadati istana olahraga itu dalam konser dua hari. Keriuhannya menjadi buah bibir hingga berbulan-bulan.

Jelas saya tidak menonton langsung pagelaran akbar itu. Umur saya masih 3 tahun. Namun hingga beranjak belia, beragam mitos dari konser supergroup asal Inggris itu masih terdengar. Seorang teman pernah berkisah, “Jakarta sampai mati lampu untuk memasok kebutuhan listrik konser Deep Purple saat itu.” Padahal umurnya hanya terpaut dua tahun lebih tua dari saya.

Mitos kerap lahir dari keterpesonaan. Ketika sebuah realitas tak dapat dijangkau maka dibangun kisah di luar nalar. Jadi wajar banyak mitos yang lahir dari konser Deep Purple ini. Perhelatan 35 tahun lalu itu memang dahsyat. Pesonanya saya saksikan lewat film Untuk Kaum Muda (UKM - For the Youngsters). Film besutan sutradara Erfan Agus Setiawan, ini mengupas sejarah pasang surut majalah musik paling fenomenal di tahun 70 an, Aktuil. Majalah ini yang berjasa mendatangkan Deep Purple dulu.

Untuk Kaum Muda diganjar Penghargaan Khusus Dewan Juri Dokumenter FFI 2004. Meski maksud awal film itu untuk memenuhi tugas akhir kuliah Erfan di Institute Kesenian Jakarta. Pembuatannya memakan waktu dua tahun. Sementara untuk syuting narasumber hanya sepuluh hari. “Paling pusing nyari footage Deep Purple,” ungkap pria kelahiran 30 Agustus ini.

Konon footage grup musik ini pernah diputar di IKJ, namun tak ada yang paham keberadaanya. Erfan memburu dokumen sejarah itu ke TVRI dan Arsip Nasional. Semua nihil. Ia kembali mencari di IKJ dan membongkar lemari film di perpustakaan kampus. Ketemu.

Kesulitan lain menghadang. Ijin hak cipta harus diurus. Dokumen itu karya Sinema 8, rumah produksi yang dibentuk oleh delapan mahasiswa IKJ. Keberadaan mereka entah dimana. Setelah payah mencari personil Sinema 8, ijin pun didapat.

Selanjutnya, mengoversi film seluloid itu ke digital. Karena semata wayang, konversi dokumen itu harus dikawal dekan fakultas. Pita film tua itu sempat putus dua kali saat proses ubah format. Hasilnya, dari 30 menit panjang dokumen, Erfan menyisipkan 10 menit aksi Deep Purple dalam Untuk Kaum Muda .

Erfan yang dibantu Arif Basuki, karib sekaligus tetangganya, menampilkan kisah dari tiga sisi. Pembaca, awak redaksi Aktuil dan musisi Indonesia 70 an. Film ini dengan apik menyajikan gestur dan emosi para narasumbernya. Juga kutipan yang saling menguatkan, kadang menafikan. Simak pendapat para narasumber tentang Aktuil.

“Ini buku suci,” kata Andy Julias, musisi rock progresif.

“Barometer majalah musik pada tahun-tahun itu adalah aktuil,” ungkap Donny Fatah, bassis God Bless.

Aktuil yang lahir tahun 1967, juga menjadi media perlawanan anak muda terhadap sistem yang mapan. Tiras Aktuil di awal 70 an bisa mencapai 120.000 eksemplar. Selain menyuguhkan artikel musik rock, kepada anak muda diperkenalkan, opera, teater dan sastra.

Saat Remy Sylado berada dalam jajaran redaksi Aktuil, ia menggagas gerakan puisi mbeling. Seperti ingin menggugat budaya hipokrit, film ini menyuguhkan penjelasan Remy atas puisinya yang berjudul Pesan Seorang Ibu Kepada Putranya. Puisi itu hanya berisi tiga kata: “Jangan Bilang Kontol”.

Menurut Remy kata kontol itu tidak porno. Apakah kata itu harus diganti dengan kata kemaluan? “Saya rasa, justru laki-laki yang tidak punya kontol yang harus malu,” jelas sastrawan dengan nama asli Jubal Anak Perang Iman Tambayong ini.

Selain rubrik sastra asuhan Remy, yang membuat aktuil digandrungi anak muda adalah reportase Denny Sabri yang bermukim di Eropa. Sabri melaporkan konser-konser musisi mancanegara di sana.

Ia begitu dekat dengan narasumbernya, terutama Deep Purple. Ketika Deep Purple ikut arus British invasion -arus para musisi Inggris merajai industri musik Amerika, Sabri yang masih kuliah di Jerman turut hijrah ke Negri Paman Sam.

Ketika akan konser ke Jepang dan Australia, Sabri menawarkan Deep Purple mampir manggung di Indonesia. “Mereka mau,” kata Sabri yang dalam film UKM terlihat tersengal-sengal mengisahkan masa lalunya.

Sabri didera penyakit kronis saat Erfan mewawancarainya. Meski demikian, ia begitu antusias. Bahkan Sabri menyempatkan datang ke Hotel Sahid untuk menceritakan tragedi kematian Patrick Collins di hotel itu. Patrick Collins adalah crew Deep Purple. “Patsy (panggilan akrab Patrick) jatuh dari lantai 8,” ungkap Sabri di depan lift tempat kejadian.

Denny Sabri tutup usia pada 29 November 2003. “Enam bulan setelah gue wawancarain, tiga bulan setelah film kelar,” kenang Erfan.

Dalam kacamata Erfan, Sabri layaknya tokoh William Miller dalam film Almost Famous karya Cameron Crowe. Seperti Miller yang ngintil grup musik Stillwater, Sabri nempel pada Deep Purple. Kedekatan Sabri nampak saat konferensi pers di Hotel Sahid menjelang konser tahun 1975. Glen Hughes merangkul Sabri dengan hangat.

Usai kehadiran Deep Purple, adalah masa sulit bagi Aktuil. Remy dan Sabri hengkang dari majalah itu. Tirasnya terus merosot. Erfan memvisualkan bahwa mengenang kejayaan memang selalu menyakitkan. Seperti dirasakan Odang Danaatmaja di akhir film. Odang yang ikut membesarkan Aktuil menitikkan airmata mengenang masa jaya Aktuil, seraya berucap dengan suara tercekat, “Astaghfirullah al’adzim.” Layar Untuk Kaum Muda ditutup dengan Padamu Negri dalam alunan keyboard John Lord.

Film berdurasi selama 43 menit ini patut diacungi jempol. Meski sayangnya Erfan, sutradara merangkap researcher sekaligus editor film ini, tak mencantumkan subtitle profesi di bawah nama narasumbernya. Ini perlu untuk melihat otoritas narasumber. Jika dianggap sebagian besar penggila musik di Tanah Air mengenal nama-nama seperti Donny Fatah, Andy Julias, Ilham Affan dan Bens Leo, namun belum tentu masyarakat awam, apalagi penonton mancanegara.

Apalagi sepekan terakhir, Dr Drew Thompson begitu antusias berkoresponden dengan sutradara UKM. Drew direktur Thompson Music, perusahaan musik yang belasan tahun bekerja sama dengan Deep Purple. Perusahaan ini mengedarkan lagu dan dokumentasi Deep Purple dalam bentuk video. Drew yang bermukim di Melbourne, Australia, juga terlibat dalam manajemen (overseas) Deep Purple. Ia berniat mendistribusikan UKM di bawah labelnya.

“Cuma ada empat copy DVD asli di dunia. Di gue, Kelik (panggilan Arif Basuki), Drew dan lo,” kata Erfan kepada saya, Jum’at pekan lalu.

Saya pun segera memperbajak keping digital itu, sebelum dikangkangi major label global.

Rangkapanjaya, 1/8/2010

*Penulis adalah penulis kambuhan.