Senin, 17 Januari 2011

Pada Sebuah Sudut

Musim Penghujan 1988
Dua pohon palem itu seolah menjadi bingkai. Celah diantara keduanya membuat pandanganku lebih terarah jauh ke depan. Bentang rel kereta, genteng-genteng merah kusam berbaris asimetris, kusir-kusir becak yang menunggu rejeki dari kayuhannya di pinggiran jalan, menjadi variasi bagi mataku.

Jauh di horizon, pancang-pancang besi bakal pondasi pencakar langit bagai pentul korek api berlatar siluet gunung, semakin menambah ‘eksotik’ pemandangan di hadapanku. Keindahan senja di sudut ruangan itu adalah kenikmatan tak terperi bagiku. Sebuah penghiburan alami. Saat yang lain bergegas keluar atau bercengkrama di area lain, justru aku sengaja memperlambat laju gerakku. Menanti semua sepi dan aku kemudian melangkah menuju sudut itu. Membuka jendela nako lebar-lebar, menghirup udara sore dalam-dalam yang basah karena hujan, dan menyapu pandangan alam raya sekitarnya dari ketinggian 3 meter.
Tidak ada yang istimewa dari semuanya, memang. Namun suatu ketika, saat mataku tertambat pada jalan raya di ujung pandanganku, semua menjadi lain. Aku seolah menemukan sebuah dimensi lain dalam dunia. Khayalan masa depan yang dapat ku lihat di jalan raya itu. Membayangkan lamat-lamat semua yang aku inginkan di masa mendatang, di balik nako dan dua palem itu, menembus pandangan ke jembatan layang yang berjarak hanya 2 kilometer, seolah semua yg aku ingin begitu dekat dan nyata. Entah mengapa semua bisa berada di benakku. Semua hinggap begitu saja. Kadang ketika aku risau, berlama lama di sudut itu hingga senja menjadi penawar yang mujarab. Tidak satupun orang yang tahu akan hal ini. Karena memang aku tidak ingin mereka tahu.

Manakala untuk pertama kali hatiku terpikat seseorang, hanya nako dan 2 palem itu yang tau. Mereka yang tahu bagaimana debar-debar jantungku saat ia berlalu depan pandanganku. Mereka yang tau manakala aku berharap padanya dan menyimpannya untuk masa depanku di jalan raya itu. Satu masa, nako dan palem itulah yang juga melihat buliran airmataku mengalir ketika aku menahan kesedihanku tak tertahan saat aku harus kehilangan orang yang menjadi pelita hidupku. Memandang nanar ke jalan raya, mencoba mencari tahu masa depan seperti apa sesudah beliau pergi.

Dua tahun berikutnya sudut itu bukan jadi milikku lagi. Tidak ku temukan sudut yang sama seperti sudut dengan jendela nako dan 2 pohon palem di depannya. Kadang aku menyelinap diam-diam ke sana, namun sering kutemukan insan-insan yang sedang asyik berkasih. Yah tentu saja, sudut dan ruangan itu telah menjadi milik mereka.
Waktu tidak akan pernah sama, sekalipun aku ingin menikmati dan mengulangnya kembali.

20 Tahun Kemudian
Senja itu aku berdiri di sebuah trotoar. Di belakangku sebuah gedung gagah menjulang, bersiluet gunung yang begitu nyata. Aku memandang lurus ke sebuah bangunan bertingkat. Mataku memandang jauh mencari 2 pohon palem. Itu dia! Aku picingkan mata agar dapat menangkap detail. Namun mataku tak dapat mencapai. Tidak terlihat nako di sana. Aku pandangi alam raya di sekitar. Rel kereta, genteng kusam beraneka ragam. Hmmm… déjà vu.


Namun perasaan asing menyeruak masuk ke kalbu. Seolah diriku menjadi dua. Seseorang yang persis seperti aku kini ada di hadapan sana. Kami bertemu di pertengahan jalan diantara garis lurus antara jalan raya dan bangunan bertingkat itu. Masa laluku dan masa kiniku bertemu. Bersekat dinding yang begitu tipis. Aku memandang masa laluku sendiri, mencoba menjawab apa yang menjadi pertanyaanku dulu. Dimensi yang selalu menjadi khayal di Jalan raya itu. Ya… aku telah tiba di sana. Aku telah mencapainya setelah menempuh berjuta kilometer. Meski dulu hanya sejurus pandangan mata dari nako kelasku.

Kupandangi diriku di masa lalu. Mencoba mencari apa yang dulu aku inginkan di sana. Aku bisikan kedalamnya, bahwa masa kini ku tidak sama seperti apa yang ku khayalkan dulu. Kenyataan-kenyataan hidup yang ku lalui menghempasku membenamkan semua mimpi dan khayalan. Cita-citaku tergolek di tengah perjalanan, cintaku yang pernah aku simpan di jalan raya itu tak terwujud. Hidup adalah pilihan. Dalam perjalanannya banyak yang harus kita tolerir. Tidak semuanya yang kita inginkan dapat terwujud. Kita harus dapat selalu berdamai dengan situasi, tepatnya.

Tiba-tiba, ingin rasanya ku koyak sekat tipis yang menghalangiku ini. Mencoba menembusnya. Aku rindu masa lalu. Masa memandangi jalan raya lewat celah jendela nako yang dibingkai 2 pohon palem. Menghirup kembali udara senja yang basah karena hujan sambil kembali berkhayal dan bermimpi akan masa depan, tentang cita, cintaku yang aku inginkan.

Medio Januari 2011

*Ditulis oleh Lia Ratnasari, alumni SMAN 37 lulus tahun 1991

Tidak ada komentar: