Kamis, 12 Februari 2009

Berbagi Lewat Sunatan Massal


SEBANYAK 30 anak kecil seusia 7-14 tahun mendatangi sekolah SMAN 37, Kebon Baru, Jakarta Selatan. Anak-anak warga sekitar ini siap dikhitan. Hajatan diselenggarakan ILUNI 37-91 bekerjasama dengan pihak sekolah dibantu sebagian murid-murid SMA tersebut.

Fitriansyah bocah berusia delapan tahun terlihat menangis. Nafasnya sesenggukan. Air mata membasahi dua pipi montoknya. “Ryan ogah disunat,” kata Ryan, panggilan akrabnya.

Kedua orangtuanya sibuk membujuk si sulung dari dua bersaudara. Tiga dokter muda ikut turun tangan menenangkan si kecil Ryan.

Dokter seraya menyemprotkan spray anastesi bersiap melakukan penyunatan. Tapi Ryan bergeming. Tangisnya tetap membahana. Murid Madrasah Ibtidaiyyah Assa’diyah itu pun batal dikhitan.

“Padahal kemarin dia sendiri yang minta disunat. Formulirnya, dia juga yang ngasihin ke sini,” kata Soheh, ayah Ryan.

Bocah laki-laki kecil bersarung dan berbaju koko sebelum masuk ke ruang circumcisi (khitan, red) terlebih dahulu menunggu dalam sebuah kelas yang disulap menjadi ruang tunggu. Ruangan dihias balon dan kertas warna-warni sedemikian rupa untuk membuat menarik.

Di sana para peserta khitan duduk di atas hamparan karpet, asyik menyaksikan film kartun dan para alumni SMAN 37 memandu menyanyi bersama. Mereka dihibur untuk mengurangi rasa takut dan jenuh menunggu dikhitan.

“Suasana ruangan dirancang agar mereka tidak takut menjelang dikhitan,” kata Cicilia Luise, alumni SMAN 37 yang kini menjadi guru salah satu sekolah musik di bilangan Cinere, Jakarta Selatan.

Sekitar 20 dokter muda dari Tim Bantuan Medis Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia bersiap di kelas yang disediakan sebagai ruang circumcisi. Sebuah kelas berukuran 5 x 20 meter dibagi menjadi lima bilik dengan tirai kain putih.

Ketika para peserta dipanggil masuk ke bilik-bilik khitan, tangisan pun meledak dari mulut mungil mereka. Kalimat menghibur dilontarkan para dokter muda dan orangtua yang mengantarkan putranya. Tak urung dua bocah batal ikut khitanan massal.

“Satu orang mengundurkan diri. Seorang lagi karena alasan medis, dirujuk ke rumah sakit untuk observasi lebih lanjut,” jelas koordinator khitanan massal Ade Irwan.

Prosedur yang ditetapkan tim dokter, usai dikhitan anak-anak tersebut wajib menunggu di ruang pemulihan selama 30 menit. Tujuannya untuk melihat reaksi pasien pasca operasi circumcisi. Salah seorang dokter yang merupakan alumni menjadi supervisi dari tim dokter.

Seusai dikhitan, wajah mereka sumringah penuh kebahagiaan. Pasalnya, semangkuk es krim menunggu di ruang ini. Tak cuma itu, mereka mendapat tas berwarna merah berisi aneka cinderamata yang disiapkan penyelenggara untuk dibawa pulang.

“Bingkisan merupakan bagian dari sponsor penyelenggara yang kebetulan salah satu dari alumni bekerja di situ, sehingga memudah kan kami untuk mengajukannya, papar Gamal yang menjadi Program Manager dan Koordinator Humas dari ILUNI 37-91.

Buhairi, ayah dari M Hafizurahman yang dikhitan pada hari itu, merasa senang dan bersyukur atas program yang telah dilakukan pihak sekolah dan alumninya.

“Kami sebagai warga yang berada di sekitar wilayah sekolah merasa berterima kasih kepada SMAN 37, beserta alumninya. Sunatan sekarang kan mahal. Jadi dengan sunatan ini, Alhamdulillah kami terbantu,” ungkap Buhairi.

Khitanan massal termasuk rangkaian kegiatan Bakti Sosial (Baksos) menyambut HUT SMAN 37. Penyelenggaranya Ikatan Alumni SMAN 37 Jakarta angkatan 1991, biasa disebut ILUNI 37-91.


Written by Yaumil Fadhil, harian MERDEKA (7/2/2009)

Tidak ada komentar: